Text
BIDADARI BIDADARI SURGA
Novel ini memiliki teman maju mundur, hal itu dapat dilihat dari rentetan cerita dari masing-masing babnya. Di awal bab di ceritakan keadaan di mana Mamak mengirim berita sakitnya Kak Laisa ke empat anaknya yang lain yaitu Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Dari situlah satu persatu kisah dari mereka dipaparkan, perjuangan mereka yang sekarang untuk kembali ke kampong halaman yang diselingi dengan kisah-kisah semasa kecil mereka.
“tak kenal maka tak sayang”, aneh rasanya jika saya menyebutkan nama-nama karakter di novel ini jikalau kalian tak mengetahui siapa mereka yang sesungguhnya? Baiklah mari kita Mulai dari Kak Laisa. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, Kak Laisa, dengan pengorbanannya dapat membuat keempat adiknya menjadi orang yang sukses. Tentunya ada hal yang dilakukan kak laisa, hal itu adalah ketegasan.
“BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau lakukan di sini?" Kak Laisa mendesis galak, melangkah mendekat. Seram benar melihat tampangnya…. (Hal. 59).
Selain tegas, Kak Laisa juga adalah orang yang pemberani. Demi mneyelamatkan Wibisana dan Ikanuri dari terkaman tiga ekor harimau, Kak laisa menyuruh mereka pulang duluan bersama Dalimunte yang datang bersamanya dan melawan sendiri harimau tersebut.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!" Kak Laisa, entah apa yang ada di kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik terpana menyaksikan pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang, seperseribu detik langsung loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan….
Kak laisa melakukan itu digelapnya malam, di dalam hutan. Hanya bermodal obor dan teriakan, ia mampu memundurkan tiga ekor harimau sebesar anak sapi yang sebenarnya sudah siap menerkamnya pada saat itu juga. Namun entah karena apa, harimau itu tak jadi melaksanakan niatnya.
Dibalik ketegasan dan keberanian itu, Kak Laisa tetaplah manusia biasa yang dapat sakit. Namun kembali lagi, rasa ingin tampil selalu kuat yang dimiliki oleh Kak Laisa membutnya selalu terlihat baik-baik saja di depan adiknya. Hingga pada saat ia tak kuat lagi barulah adik-adiknya yang entah berada di penjuru bumi sebelah mana meninggalkan pekerjaan mereka yang dapat menjadi awal baru yang lebih luar biasa dari yang telah mereka alami hanya untuk menemui pahlawan mereka.
Dalimunte, ia adalah anak kedua dari keluarga ini. Anak jenius yang mampu merancang kincir air di usia terhitung belasan tahun untuk mengangkat air sungai dari bawah cadas sehingga masyarakat di kampungnya tak selalu bergantung pada kebaikan hujan. Selain itu, anak yang kerap disapa Dali ini juga memiliki perasaan paling dalam dibanding dengan saudaranya yang lain.
"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — " Dalimunte berkata serak. Dia membuang ingus. Dari lima bersaudara, Dalimunte-lah yang paling mudah terharu. "Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...."
Kutipan tersebut adalah momen di mana Dali yang rela untuk sebentar tak menempuh pendidikan demi mengembalikan keadaan ekonomi keluargannya terlebih dahulu. Dari ucapan itu juga, tekat mereka untuk hidup lebih baik semakin membara. Tak heran sifat tersebut dali dapatkan karena ia adalah anak yang paling religius, ia rajin beribadah di surau, kantuk di subuh hari dan dinginnya air bukanlah masalah besar dibanding dengan keuntungan yang ia dapatkan karena mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di surau…
SAS00015S | 8X0.3 | My Library (Nomor 800 (Kesusastraan)) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain