Text
BURLIAN
Di novel yang menjadi buku keempat dari serial ini (tetapi anehnya terbit yang ketiga), tere-liye, penulisnya, tetap sukses menyuguhkan dunia anak-anak dan tingkah polah-nya, beserta dunia orang tua yang disiplin namun penuh kasih sayang, menjadi satu bacaan yang sarat makna dan pembelajaran.
Setelah Burlian si anak spesial yang bercita-cita melihat dunia dengan kapal-kapal besar, dilanjutkan dengan Pukat si anak pintar, yang ingin menjadi peneliti dan menemukan harta karun terbesar kampungnya, kini dilanjutkan dengan Eliana, si anak sulung yang pemberani dan tidak bisa tinggal duduk diam melihat ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di depan matanya.
Di buku keempat ini, tidak hanya menceritakan tentang aksi Eliana bersama teman-temannya yang tidak bisa tinggal diam melihat kampung mereka diporak-porandakan penambang pasir rakus dari kota, mengeruk pasir di delta sungai kampung mereka tanpa mempedulikan dampak yang ditimbulkannya, tapi juga menceritakan Eliana sebagai anak sulung mamak dengan segala tanggung jawab terhadap ketiga adiknya serta konflik-konflik dengan teman-teman di sekolahnya.
Cover Eliana dan Pukat
Di novel ini, selain Eliana dan ketiga adiknya serta teman-temannya, ada Mamak yang gesit, disiplin, dan penuh kasih sayang. Ada Bapak yang ceria, arif dan bijaksana. Ada Paman Unus, adik Mamak, yang hidupnya bebas dan kembali ke alam. Ada pula Pak Bin, guru honorer yang sudah mengabdi, bolak-balik mengajar di enam kelas sekaligus, sudah hampir seperempat abad belum juga diangkat menjadi PNS, tetapi tetap semangat mengajar, bahkan membujuk orang tua dari anak-anak yang putus sekolah agar mengizinkan anak-anak mereka kembali bersekolah. Ada Wak Yati, kakak Bapak, yang berwawasan luas; Nek Kiba guru mengaji, tempat mereka mengaji setiap malamnya dan sering bercerita tentang Nabi dan Rasul serta cerita-cerita kearifan lainnya; juga tokoh-tokoh lain dengan alur dan dialog yang bermakna dan terkadang kocak oleh tingkah polah anak-anak.
ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD
“Jangan pernah takut atas hal yang kasat mata, jangan pernah takut pada sesuatu yang tidak sejati. Melainkan takutlah berbuat jahat, mengambil hak orang lain. Takutlah menganiaya, berbohong, mencuri, dan merendahkan harga diri..”
“Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang-orang yang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang-orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus selalu membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu marah. Tidak perlu membalas.”
“Jangan pernah membenci Mamak kau, Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian,”
“Ada suatu masa-masa, ada suatu musim di antara musim-musim, saat ketika alam memberikan perlawanan sendiri. Saat ketika hutan, sungai, lembah, membalas sendiri para perusaknya..”
Demikian beberapa kutipan dialog ‘bermakna’ dari isi novel tersebut.
Di novel ini pembaca diajak untuk menikmati keindahan dan kearifan lembah bukit barisan, ikut menjadi geram melihat kelakuan para penambang pasir yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, ikut tertawa melihat Eliana yang tidak rela diremehkan sebagai perempuan sehingga menerima tantangan temannya untuk adzan di mesjid kampung, dan ikut terharu melihat kasih sayang mamak yang dibalut dengan kedisiplinan
Ya, novel ini bacaan yang highly recommended! Cocok buat orang tua, sebagai salah satu bekal mendidik anak; dan sangat sesuai bagi anak-anak dan remaja untuk menumbuhkan pemahaman tentang kasih sayang, disiplin, setia kawan, dan kearifan alam.
SAS00013S | 8x0.3 Liy B | My Library (Nomor 800 (Kesusastraan)) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain